Jumat, 05 Oktober 2007

Resensi Buku



PERSPEKTIF JAGAT WALIKAN GAYA PUTU

Oleh Ahmad Suyudi Omar*)





Judul         : TEROR
Genre       :  Novel
Penulis     :  Putu Wijaya
Penerbit   :  Pustaka Jaya
Tahun       : 1991
Tebal        : 147


SERIBU satu macam masalah dan persoalan akan selalu menghadang dan harus dihadapi oleh sepasang suami-istri yang tengah menjalin cinta, mengarungi samudra kehidupan berumah tangga. Konflik baik disadari maupun tidak suatu saat akan menjadi ’bom waktu’ yang suatu saat pula dapat meledak dan dapat memperok-porandakan mahligai rumah tangga mereka, kalau sebelumnya tidak diadakan siasat yang baik dalam mengantisipasinya.

Bermacam-macam persoalan, dari masalah kebutuhan ekonomi, sandang, pangan, dan kebutuhan akan tempat tinggal (papan), masalah kebutuhan batiniah, masalah keturunan, iri, dengki, cemburu, masalah orang ketiga (the other man/woman) hingga masalah kemandulan, impotensi atau lemah syahwat, dan sebagainya dan sebagainya. Semua bisa saja datang secara tiba-tiba dan tak dinyan-nyana
.
Bertolak dari berbagai ragam bentuk masalah dan persoalan kehidupan tersebut novel esai Putu Wijaya ini berusaha membongkarnya secara panjang lebar lewat beraneka ragam karakter tokoh-tokoh ceritanya.

Secara struktural novel ini terbangun oleh limabelas bagian yang pada setiap bagiannya berbentuk esai. Tampaknya Putu Wijaya sengaja tidak mencantumkan judul-judul pada setiap bagian dari novel ini, dengan maksud kesemuanya esai-esai itu akan menjadi satu-kesatuan dalam variasi (unity in variation) dan terbentuklah sebuah bangunan cerita yang satu bagian dengan bagian lain atau berikutnya akan saling berkesinambungan. Dan itu pun jika pembaca bersedia membaca secara utuh keseluruhan novel-esai ini. Ternyata di sinilah sebetulnya letak dari nilai sastra-nya karya Putu yang satu ini.

Kendati begitu, pembaca dapat saja menikmatinya tanpa harus mengurutkan (secara kronologis) mulai bagian pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Karena ternyata hubungan kesinambungan antar satu bagian dengan bagian berikutnya tidak mutlak adanya. Atau bahkan pembaca pun dipersilakan membaca terbalik dari bagian terakhir menuju ke awal, atau bagian tengah dari novel ini. Tidak perlu mempedulikan keurutan alur/plot di dalam rangkaian cerita novel ini.

Inilah perbedaan nyata novel Teror ini jika kita bandingkan dengan novel-novel lain pada umumnya, termasuk karya-karya yang lain milik Putu, dilihat dari bentuknya. Dan karena itulah novel ini bahkan boleh dikatakan seperti sebuah antologi esai yang membeberkan beraneka ragam problematika kehidupan umah tangga.

Teror menjadi novel-esai yang mengungkapkan perubahan nilai yang dilacak dari dalam perkawinan, melalui bermacam-macam karakter setiap tokohnya. Perubahan nilai  tidak hanya menteror yang bersangkutan, melainkan juga menggasak kemapanan tatanilai di dalam kehidupan masyarakat. Perubahan nilai-nilai itu berdatangan secara tidak beraturan, semrawut, dan menyergap siapa saja. Apa yang terlihat, tatanilai mengalami penjungkirbalikan tidak keruan. Perspektif dunia menjadi serba terbalik, kontradiktif, berlawanan, terhadap berbagai establisment yang sudah ada sejak lama. Perspektif jagat walikan seperti inilah yang kembali dimunculkan oleh Putu Wijaya melalui novel Teror, bahkan absurditas kehidupan manusia moderen terungkap secara gamblang dan vulgar pada hampir seluruh bagian dari novel ini.

Setting yang dipilih oleh Putu dalam mengungkap perubahan tatanilai di dalam novel ini adalah kehidupan manusia ’pascamoderen’. Ada tokoh yang memilih alternatif aneh, yakni berhasrat dapat hidup sebagai seorang robot, dengan susah payah merusak secara sengaja jantungnya sendiri sehingga dengan begitu segera akan memperoleh jantung pengganti, yaitu jantung plastik yang dapat diproduksi oleh teknologi moderen. Tokoh yang lainnya adalah sepasang kakek-nenek berumur tujuh puluh tahun yang telah puluhan tahun lamanya berpisah, tetapi keduanya dipertemukan kembali. Mereka berpacaran kembali, lalu pergi mengembara sebagai ujud protes kepada para anak cucunya yang tidak memberi izin dan merestui pernikahan kembali kedua kakek-nenek mereka. Namun pada akhirnya kakek-nenek itu berhasil melangsungkan pernikahan kembali mereka di perantauan. 

Apa yang yang terdengar aneh dari episode kakek-nenek ini, yakni mereka secara mengejutkan dapat melahirkan seorang anak, dan konyolnya lagi, anak yang dilahirkan dari rahim si Nenek adalah seorang bayi yang jenis kelaminya tidak lelaki dan tidak perempuan. Atau justru ya laki-laki ya perempuan atau berkelamin ganda (hermaprodite)

Putu Wijaya tetaplah Putu Wijaya. Setelah ratusan cerita pendek, belasan novel, dan karya-karya drama ditulisnya dengan lancar selancar dirinya bernafas, gaya penuturannya tak pernah berubah, tetap lancar, enerjik, segar, spontan, lincah, kocak, dan konyol. 

Inilah memang ciri khas gaya bercerita Putu.





***



. *) penulis mantan editor pada sebuah penerbit buku di Jakarta